Rabu, 08 Juli 2020
LOGO MPK PWM LAMPUNG
Rabu, 19 Februari 2020
KAJIAN RUTIN PCM KEMILING
Selasa, 18 Februari 2020
EKSISTENSI EKSPRESI NEGARA ISLAM
Sumber:
https://m.republika.co.id/berita/q5tzc4385/islam-pancasila-mengenang-sukarno-dan-ki-bagus-hadikusumo-part2
Senin, 17 Februari 2020
KALIMAT "SHODAQOLLAHUL ADZIM" BUKAN SUNNAH NABI
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum w. w.
Bagaimana hukumnya membaca ‘shadaqallahu al’azhim’ setelah tilawah al-Quran? Sebab ada suatu harakah yang berpendapat bahwa membaca itu setelah tilawah termasuk bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mohon penjelasannya, terima kasih.
Wassalamu’alaikum w. w.
Pertanyaan dari:
Alif Furqoni A.W., IMM Komisariat Universitas Brawijaya Malang
(disidangkan pada hari Jum’at, 20 Syakban 1432 H / 22 Juli 2011 M)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam w. w.
Terima kasih kami haturkan kepada saudara Alif Furqoni, apa yang saudara sampaikan sesungguhnya mewakili pertanyaan banyak kalangan dari warga Muhammadiyah. Pertanyaan saudara sesungguhnya pernah pula diajukan ke Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan jawabannya telah dimuat pada Buku Tanya Jawab Agama Jilid I (hal 16). Saudara kami persilahkan untuk merujuknya. Berikut ini tambahan jawaban dari kami.
‘Shadaqallahul ’azhim’ (صَدَقَ اللهُ اْلعَظِيْمُ) maknanya adalah “telah benarlah Allah yang Maha Agung”. Memang tidak ditemukan adanya ayat al-Quran atau hadis yang menerangkan secara eksplisit (sharih) praktik atau perintah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengucapkan lafal tertentu sesudah membaca al-Quran. Al-Quran hanya mengajarkan bahwa sebelum membacanya kita terlebih dahulu harus mengucapkan lafal ta’awudz. Dalam surat an-Nahl ayat 98, Allah berfirman:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ [النحل: 98]
Artinya: “Apabila kamu membaca al-Quran, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” [QS. an-Nahl (16): 98]
Namun demikian, praktik yang berlaku umum di tengah masyarakat adalah mengucapkan lafal “shadaqallahul ‘azhim” seperti yang saudara tanyakan. Dalam penelusuran kami, sesungguhnya penggunaan lafal tersebut bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah berlangsung sejak lama. Para mufassir dalam beberapa kesempatan setelah menerangkan tafsir suatu ayat, terkadang menimpali tafsirannya dengan ucapan “shadaqallahul ‘azhim”. Jika saudara memiliki program “al-Maktabah asy-Syamilah” kemudian memasukkan kalimat tersebut di himpunan kitab-kitab tafsir, saudara akan menemukan bahwa lafal tersebut digunakan oleh banyak mufassir di berbagai tempat. Misalnya, sebagai contoh digunakan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, al-Qurtubi dalam al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Ibnu Ajibah dalam Tafsir Ibnu ‘Ajibah, asy-Syinqithi dalam Adhwahul Bayan dan Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an. Menurut hemat kami, lafal ini digunakan sesungguhnya sebagai bentuk penghormatan (al-Qurtubi: I/27) dan penegasan (afirmasi) komitmen seorang muslim akan kebenaran berita dan kandungan al-Quran yang difirmankan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dalil implisit (ghairu sharih) yang umumnya dijadikan sandaran untuk bacaan ini adalah al-Quran surat Ali Imran ayat: 95:
قُلْ صَدَقَ اللهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ [آل عمران: 95]
Artinya: “Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” [QS. Ali Imran (3): 95]
Ayat ini jika dilihat dari konteksnya memang berbicara tentang Bani Israil. Melalui ayat tesebut, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk menegaskan kepada Bani Israil bahwa al-Quran adalah benar (akurat) tentang kisah-kisah yang ia bawa mengenai Bani Israil di masa lalu. Namun, ber-istidlal (mengambil dalil) dari ayat ini bukannya sama sekali tidak dibenarkan. Dalam hukum tajwid dibolehkan membaca ayat ini dengan berhenti setelah lafal “Allah”, atau bisa disebut waqf jaiz (tempat yang dibolehkan berhenti). Jika kita berhenti di sini, maka ayat ini dapat melahirkan makna yang independen dari ayat sebelumnya dan lafal sesudahnya. Sehingga makna umumnya adalah ucapan “shadaqallahu” tidak mesti diucapkan hanya di depan Bani Israil yang meragukan kebenaran al-Quran, melainkan dapat dibaca kapanpun jika ia dibutuhkan. Adapun penambahan lafal al–‘azhim dalam shadaqallahul ‘azhim adalah sebagai bentuk ta’zhim (pengagungan) terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala.
Berangkat dari keterangan di atas, maka pendapat yang dapat kita pegang adalah lafal “shadaqallahul ‘azhim” boleh diucapkan kapan pun, terutama setelah mendengar informasi yang berhubungan dengan kebenaran informasi yang dibawa al-Quran. Demikian juga pengucapannya setelah membaca al-Quran. Ia dapat diterima dan bukan merupakan bid’ah (mengada-ada) dalam urusan agama. Hanya saja, yang perlu dicatat di sini adalah pelafalan kalimat tersebut tidak boleh diiringi dengan keyakinan bahwa ia adalah sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diajarkan secara khusus, apalagi menganggapnya sebagai kewajiban agama. Sehingga, orang yang mengakhiri bacaan al-Quran tidak harus membaca bacaan ini dan orang yang tidak membaca bacaan ini setelah membaca al-Quran juga tidak menyalahi tuntunan agama. Selain itu, catatan lainnya adalah hendaknya lafal ini tidak diucapkan setelah membaca ayat al-Quran di dalam ibadah shalat, karena shalat adalah ibadah mahdhah yang kita hanya diperkenankan mengikuti petunjuk agama dalam pelaksanaannya.
Wallahu a’lam bisshawab
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah: No. 22, 2011
PAK AR MENCARI PEMIMPIN MUHAMMADIYAH
Minggu, 16 Februari 2020
BACAAN DOA IFTITAH DALAM SHOLAT
Pertanyaan
Assalamu’alaikum w. w.
Mohon penjelasan tentang perbedaan doa iftitah dari buku produk Muhammadiyah yang berbeda. Pertama: buku Shalat Sesuai Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disusun oleh Bapak Syakir Jamaluddin, MA., penerbit LPPI UMY dengan kata pengantar ketua MTT PP Muhammadiyah. Pada halaman 73 dijelaskan bahwa doa iftitah itu ada 3 macam, yaitu: Allahumma Ba’id, Allahu akbar Kabira dan Wajjahtu wajhiya. Sementara dalam buku HPT, pilihan doa iftitah hanya dua, yaitu: Allahumma ba’id baini dan Wajjahtu wajhiya. Kami umat yang di bawah merasa bingung membaca kedua buku ini, oleh karena itu mohon penjelasan dengan hadis sahih.
Terima kasih.
Pertanyaan dari:
H. Mufti Muhammadi, muftimuhammadi@yahoo.co.id, SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun
(Disidangkan pada hari Jum’at, 16 Jumadilakhir 1432 H / 20 Mei 2011 M)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam w. w.
Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan oleh Bapak H. Mufti Muhammadi kepada Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pertanyaan yang serupa sesungguhnya banyak dilontarkan oleh warga Muhammadiyah baik secara langsung maupun tertulis. Buku yang berjudul “Shalat Sesuai Tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Mengupas Kontroversi Hadis Sekitar Shalat” yang disusun oleh Bapak Syakir Jamaluddin, M.A., tersebut memang banyak disoroti oleh warga Muhammadiyah, baik terkait dengan eksistensi buku maupun beberapa materi yang terkait seputar shalat. Terkait dengan eksistensi buku, warga Muhammadiyah banyak yang bertanya apakah buku tersebut merupakan produk Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (MTT PP) Muhammadiyah atau bukan. Pertanyaan tersebut muncul setidaknya karena dua hal; pertama, karena diterbitkan oleh institusi atau lembaga di lingkungan Muhammadiyah; kedua, karena kata pengantar buku tersebut ditulis oleh Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A. yang saat ini menjadi ketua MTT PP Muhammadiyah. Sedangkan dari aspek materi seputar shalat yang paling banyak disoroti, antara lain; tentang pilihan salam dan bacaan doa iftitah pada saat shalat.
Terkait dengan permasalahan pertama, perlu dijelaskan bahwa produk MTT PP Muhammadiyah dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu:
- Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah, yakni hasil Muktamar/Musyawarah Nasional Tarjih yang kemudian dibukukan dan disebut Himpunan Keputusan Majelis Tarjih atau sering disingkat HPT;
- Fatwa Tarjih, yaitu keputusan MTT PP Muhammadiyah atas persoalan yang muncul di masyarakat. Fatwa Tarjih bisa merupakan respon MTT PP Muhammadiyah atas persoalan yang terjadi di masyarakat atau merupakan jawaban atas pertanyaan yang disampaikan kepada MTT PP Muhammadiyah dan kemudian dimuat di rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah. Saat ini sebagian Fatwa-fatwa Tarjih telah diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Tanya Jawab Agama sejumlah 6 jilid.
- Wacana, yaitu pengembangan pemikiran dalam soal keagamaan yang bersifat tidak mengikat secara kelembagaan, diterbitkan dalam bentuk buku maupun jurnal.
Adapun buku yang disusun oleh Bapak Syakir Jamaluddin, MA., tidak termasuk ke dalam salah satu dari ketiga produk MTT PP Muhammadiyah tersebut. Buku tersebut merupakan hasil karya pribadi salah seorang warga Muhammadiyah dan bukan merupakan keputusan MTT PP Muhammadiyah. Dengan demikian, buku tersebut TIDAK termasuk buku tuntunan resmi yang dikeluarkan oleh Persyarikatan Muhammadiyah.
Pada prinsipnya setiap keputusan MTT PP Muhammadiyah selalu dilandasi oleh dalil-dalil yang terkuat baik dari al-Quran maupun sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang maqbulah. Namun demikian, setiap orang terbuka untuk mengkaji dan mengkritisi keputusan Tarjih asalkan dilakukan secara argumentatif serta berpedoman kepada semangat dan Manhaj Tarjih. Bahkan berbeda dalam beberapa hal dengan putusan Tarjih bukanlah sesuatu yang terlarang dalam kaidah Tarjih itu sendiri. Dalam Penerangan tentang Hal Tarjih yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur Moehammadijah (PP Muhammadiyah) tahun 1935 dinyatakan: … kami berseru juga kepada sekalian ulama’ supaya suka membahas pula akan kebenaran putusan Majelis Tarjih itu di mana kalau terdapat kesalahan atau kurang tepat dalilnya diharap supaya diajukan, syukur kalau dapat memberikan dalilnya yang lebih tepat dan terang, yang nanti akan dipertimbangkan pula, kemudian kebenarannya akan ditetapkan dan digunakan.” (lihat kata pengantar, halaman. viii dan HPT, hlm. 371-372)
Dengan demikian, setiap warga Muhammadiyah maupun pihak lain berhak untuk mengkritisi setiap keputusan Tarjih dengan mengemukakan argumentasi (dalil) yang lebih kuat (rajih), lalu diajukan kepada MTT PP Muhammadiyah untuk dibahas baik oleh Tim Fatwa MTT PP Muhammadiyah maupun dibawa ke Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah. Sebab pendapat yang berbeda dengan keputusan Tarjih dari hasil kajian dan penelitian seseorang baik dari warga Muhammadiyah maupun pihak lain merupakan hal yang tidak bisa dihindari maupun dilarang. Namun secara norma dan etika berorganisasi, pendapat perseorangan tidak semestinya disebarkan di lingkungan warga Persyarikatan. Terlebih lagi, jika pendapat pribadi tersebut dibenturkan dengan pendapat resmi Persyarikatan yang telah diputuskan berdasarkan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif). Sebab dalam kaidah MTT PP Muhammadiyah, jika ada keputusan di tingkat yang lebih rendah (apalagi pendapat perseorangan) berbeda dengan keputusan di tingkat yang lebih tinggi, maka keputusan (pendapat) yang digunakan adalah keputusan di tingkat yang lebih tinggi.
Karena itu, terkait dengan bacaan doa iftitah yang bapak tanyakan, maka dari beberapa alternatif bacaan doa iftitah yang ada, MTT PP Muhammadiyah memilih doa yang dianggap lebih kuat, yaitu:
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ.
Atau dengan membaca:
وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (وََأَنَا مِِنَ الْمُسْلِمِينَ)، اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لاَ إِلَهَ لِى إِلاَّ أَنْتَ أَنْتَ رَبِّى وَأَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْ لِى ذُنُوبِى جَمِيعًا لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ وَاهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
MTT PP Muhammadiyah melalui mudarasah dan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) memilih kedua alternatif doa tersebut di atas secara hirarkis. Artinya bahwa alternatif pertama yaitu “Allahuma ba’id …” secara kualitas periwayatan lebih sahih (hadis sahih riwayat al-Bukhari, Muslim dan lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) dan lebih praktis (ringkas) dibandingkan dengan alternatif lainnya. Namun demikian, doa iftitah yang berbunyi “Wajjahtu wajhiya …” dapat pula dijadikan sebagai alternatif bacaan doa iftitah, karena dalil yang digunakan termasuk hadis sahih riwayat Muslim dan lainnya.
Sampai saat ini, kedua alternatif bacaan doa iftitah tersebut di atas belum pernah diubah atau dibatalkan dengan keputusan yang memiliki kekuatan yang sama (Musyawarah Nasional Tarjih). Oleh sebab itu, kedua alternatif doa iftitah tersebut di atas merupakan pendapat dan pilihan resmi Persyarikatan untuk dapat dijadikan pedoman bagi warga Muhammadiyah, tanpa menafikan adanya alternatif lain yang juga sahih.
Memang pada dasarnya, semua amalan yang memiliki landasan atau dalil yang kuat dapat diamalkan. Namun terkadang dalam beberapa persoalan yang memiliki variasi atau beragam cara dan bacaannya (at-tanawwu’ fil ‘ibadah), maka dalam rangka mempermudah (at-taisir) dan agar tidak membingungkan warga dan masyarakat awam, maka MTT PP Muhammadiyah memilih salah satu atau beberapa alternatif yang dianggap paling kuat untuk dijadikan pedoman resmi warga Muhammadiyah baik lewat kajian Tim Fatwa MTT PP Muhammadiyah maupun Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah dengan melibatkan perwakilan tokoh dan ulama se-Indonesia baik dari kalangan Muhammadiyah maupun lainnya.
Dari uraian di atas, maka semakin jelas bahwa buku yang bapak tanyakan tersebut bukanlah produk MTT PP Muhammadiyah, sehingga tidak menjadi sikap dan pendirian resmi Muhammadiyah. Namun demikian dapat saja dibaca dan digunakan oleh siapa saja sebagai salah satu referensi untuk menambah wawasan dan cakrawala keilmuan dalam masalah terkait. Sedangkan untuk menghilangkan kebingungan bapak dan masyarakat awam, karena tidak (dapat) melakukan kajian secara mandiri dan mendalam, maka hendaknya merujuk kepada keputusan MTT PP Muhammadiyah yang telah ada.
Wallahu a’lam bisshawab
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah: No. 12, 2011
BEBERAPA PERSOALAN SEPUTAR SHOLAT JUM'AT
Pertanyaan:
- Khutbah Jum’at yang lebih panjang dari salatnya apakah termasuk bid’ah? Dan apakah hukumnya? Apa hukumnya jika imam pada salat Jum’at tidak membaca surat al-‘A’la dan al-Ghasiyah?
- Ketika turun dari mimbar, khatib melihat dalam jama’ah ada anggota jam’ah yang lebih fasih bacaannya dan lebih memenuhi syarat menjadi imam shalat, apakah boleh diserahkan menjadi imam kepada orang tersebut? Apakah shalat tersebut tidak batal?
- Dalam khutbah kedua, apakah rukun khutbahnya sama dengan khutbah pertama? Dan apakah boleh membaca surat al-‘Asri dan surat al-Ahzab: 56?
Pertanyaan Dari:
Abdullah, Pasar Panyambungan, kode pos 22912
Jawaban:
1. Panjang Khutbah Jum’at dan Bacaan Surat Imam Jum’at
Untuk menjawab pertanyaan saudara, perlu kami jelaskan lebih dahulu pengertian bid’ah: Dimaksudkan dengan bid’ah ialah menciptakan ibadah baru yang tidak berdasarkan dalil syar’i (al-Qur’an dan as-Sunnah). (al-Jurjani, 1321: 29)
Perlu diketahui bahwa yang paling berhak menciptakan cara ibadah hanyalah Allah dan Rasul-Nya.
Pada salat Jum’at apabila khutbahnya panjang, sedang salatnya dilakukan singkat, atau tidak membaca surat al-‘A’la dan al-Ghasyiyah, maka perbuatan tersebut bukanlah tergolong bid’ah, sebab tidak menciptakan ibadah, melainkan meninggalkan sunnah Rasul. Karena menyingkat khutbah dan memanjangkan salat, dan membaca surat al-‘A’la pada rakaat pertama dan membaca al-Ghasyiyah pada raka’at kedua hukumnya sunnah, maka apabila melakukannya mendapat pahala, dan apabila meninggalkannya, tidak berdosa, salat dan khutbahnya tetap sah/tidak batal.
2. Khatib Menunjuk Orang Lain untuk Menjadi Imam
Orang yang berhak menjadi imam dalam shalat, yang afdhal adalah orang yang paling baik dan paling banyak menghafal al-Qur’an dan paling menguasai ilmu keislaman, tetapi bukan berarti bahwa jika imamnya kurang baik adalah tidak sah shalatnya.
Maka apabila ada di antara anggota jama’ah, ada orang yang lebih fasih, boleh saja diserahkan kepadanya untuk menjadi imam shalat. Dalam suatu hadis disebutkan sebagai berikut:
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ اْلأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا … [أخرجه مسلم]
Artinya: “Dari Abi Mas’ud al-Anshariy, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Orang yang paling berhak menjadi imam bagi suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaannya (penguasaannya), jika mereka sama tingkatannya dalam bacaan, maka orang yang paling menguasai al-Sunnah, jika mereka sama dalam penguasaan al-Sunnah, maka orang yang paling dahulu berhijrah, jika mereka sama dalam berhjrah, maka yang paling dahulu masuk Islam…” (Ditahrijkan oleh Muslim, I, kitab al-masajid, no. 290/673: 298]
Berdasarkan hadis tersebut, maka menyerahkan kepada orang yang lebih fasih bacaannya adalah lebih afdhal. Maka dalam mencari khatib Jum’at hendaknya dipilih orang yang khutbahnya baik dan fasih bacaannya.
3. Rukun untuk Khutbah kedua
Dalam beberapa hadis, baik hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim maupun an-Nasa’i, tidak membedakan antara khutbah pertama dan khutbah kedua. Maka para ulama berpendapat bahwa rukun khutbah pertama dan kedua adalah sama.
Di bawah ini kami kutipkan hadis mengenai khutbah Jum’at:
1- عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْه قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَقْعُدُ ثُمَّ يَقُومُ كَمَا تَفْعَلُونَ اْلآنَ [أخرجه البخاري]
Artinya: “Dari Ibnu Umar ra, ia berkata bahwa Nabi saw berkhutbah dengan berdiri, kemudian duduk, kemudian berdiri lagi, sebagaimana kamu sekalian melakukannya sekarang” [ditahrijkan oleh al-Bukhari, I, Kitab al-Jum’ah: 108]
2- عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ كَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَتَانِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيُذَكِّرُ النَّاسَ [أخرجه مسلم]
Artinya: “Dari Jabir bin Samurah, ia berkata: Bagi Nabi saw (pada salat Jum’at) ada dua khutbah, yang antara keduanya beliau duduk. (Pada khutbah tersebut) beliau membaca al-Qur’an dan mengingatkan manusia (agar ingat kepada Allah)”. [ditakhrijkan oleh Muslim, I, Kitab al-Jum’ah, no. 34/862: 378]
3- عَنْ عَبْدِ اللهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ الْخُطْبَتَيْنِ وَهُوَ قَائِمٌ وَكَانَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ . [أخرجه النسائى]
Artinya: “Dari Abdullah, bahwa Rasulullah saw berkhutbah dengan dua khutbah, sambil berdiri, memisahkan antara dua khutbah tersebut dengan duduk”. [ditahrijkan oleh an-Nasa’i, III, Kitabul-Jumu’ah, hlm. 109]
Adapun ayat-ayat yang sering dibaca dalam khutbah ialah: surat Ali Imran (3): 102, an-Nisa’ (4): 1 dan al-Ahzab (33): 70. Tetapi, bukan berarti bahwa membaca ayat lainnya tidak boleh, sebab bacaan ayat-ayat tersebut hukumnya adalah sunnah, bukan wajib.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No. 22, 2003